Bambu Angklung Caruk Clink bertemu Singojuruh Green Open Space (RTH), Sabtu (5/31) malam.
Ribuan orang terpasang di atas panggung, menikmati musik tradisional yang khas dari Banyuwangi.
Di belakang kinerja yang hidup berjudul “Paglak Menengsing, Dusk mengatakan”, ada satu sosok yang merupakan sorotan utama, yaitu Mbah Tohan, Maestro Angklung Caruk berusia 74 tahun yang tidak lelah mentransmisikan semangat pelestarian budaya.
Kegiatan yang diprakarsai oleh Studio Jiwa Etnis Blambangan memang didedikasikan secara khusus untuk menghormati karya Mbah Toha. Dia adalah salah satu maestro Angklung Caruk yang masih aktif bermain dan mengajarkan seni ini.
Sejak dia masih muda, Mbah Tohan mengabdikan hidupnya untuk Angklung Caruk, memastikan bahwa setiap nada dan ritme tetap berkelanjutan di tengah -tengah serangan modernisasi.
“Mr. Tohan adalah salah satu maestro Paglak Angklung di Banyuwangi yang sampai sekarang masih ada. Kegiatan malam ini adalah puncak dari beberapa serangkaian kegiatan,” kata Adlin Mustika Alam, ketua etnis Blambangan Jiwa Sanggar.
Sebagai bukti yang jelas dari komitmen pemerintah dalam mempertahankan warisan non -objek negara, pertunjukan ini adalah puncak dari program dokumentasi pekerjaan dan pengetahuan maestro yang didukung oleh Indonesiana, LPDP, dan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Semangat “Nyantirik” dari generasi muda
Salah satu seri yang paling menarik dari kegiatan ini adalah program “Nyantrik”. Sebanyak 25 pria muda Banyuwangi memiliki kesempatan untuk belajar langsung dari Mbah Tohan di kediamannya.
Selama beberapa hari, mereka menyerap pengetahuan, teknik bermain, filosofi, ke sejarah Angklung Caruk langsung dari maestro.
Pengalaman yang berharga ini diharapkan menyalakan semangat baru. “Mudah -mudahan dari cerita Mbah Tohan di masa senjatanya dapat memberikan hal -hal baru, merinting seperti matahari terbit lagi dari cobaan anak muda untuk melestarikan Paglak Angklung dan memberikan inovasi dan kreativitas yang luar biasa,” harapan Adlin Mustika.
Menyentuh pesan dari maestro
Di tengah -tengah deru tepuk tangan penonton, Mbah Tohan dengan suara yang tenang namun bermakna, menyampaikan pesan yang menyentuh kepada generasi muda. Pesannya sederhana, tetapi memiliki harapan besar untuk masa depan seni tradisional Banyuwangi.
“Anang (Kakek: Merah) berharap untuk cucu -cucuku, jangan lupa untuk melestarikan Caruk Angklung seperti saya sampai usia 74 tahun masih aktif,” kata Mbah Tohan.
“Semua harus melestarikan seni Banyuwangi. Ini harus didasarkan pada orang -orang muda itu sendiri sehingga seni di Banyuwangi tetap berkelanjutan,” tambahnya.
Pesan ini bukan hanya kalimat, tetapi undangan yang tulus dari seseorang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk seni.
Mbah Toha percaya, keberlanjutan Angklung Caruk ada di tangan generasi berikutnya. Melalui tangan Mudalah, strain bambu akan terus bergema, tidak hanya di Banyuwangi, tetapi juga di arena nasional.
Kinerja ini membuktikan bahwa semangat pelestarian budaya tidak mengakui usia. Dengan kehadiran Mbah Toha sebagai inspirasi, serta antusiasme generasi muda yang siap untuk “meluncurkan” semangat baru, seni tradisional Banyuwangi akan terus hidup dan berkembang.