DIREKTUR Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto menyatakan sepanjang tahun 2025 akan ada 25 eksportir yang melakukan kecurangan terhadap dokumen ekspor minyak sawit mentah atau minyak sawit mentah (minyak sawit mentah). Metode yang digunakan adalah tagihan yang kurang atau praktik mencantumkan harga transaksi atau nilai barang lebih rendah dari nilai atau harga sebenarnya.
Data tersebut berdasarkan temuan operasi gabungan Kementerian Keuangan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Kami deteksi pada tahun 2025 ada sekitar 25 wajib pajak ekspor yang menggunakan cara yang sama,” kata Bimo usai jumpa pers di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis, 6 November 2025
Salah satu cara yang terungkap adalah dengan mengakali dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Eksportir nakal melaporkan produk ekspor sebagai pengukur lemakproduk yang tidak dikenakan bea keluar dan tidak termasuk dalam kelompok barang yang dilarang dan dibatasi ekspornya (lartas). Namun setelah diteliti, ternyata komoditas yang diekspor tersebut merupakan produk turunan CPO yang seharusnya dikenakan bea keluar dan peraturan ekspor.
Meski masih bersifat dugaan, Bimo menyatakan setidaknya total kerugian negara akibat hal tersebut berkisar Rp 2,08 triliun. Sementara itu dari samping pajaknegara rugi Rp 140 miliar. Bimo menyatakan, cara tersebut bukanlah cara baru. Pada tahun 2021-2024 praktek ditemukan tagihan yang kurang dengan melaporkan ekspor sebagai komoditas Limbah Pabrik Kelapa Sawit (POME).
Dia mencontohkan produk yang seharusnya mendapat bea masuk hingga 10 kali lipat, namun disinyalirtagihan yang kurang. “Dari sisi perpajakan, jika kita hitung kembali beban pajak yang harus diberikan kepada negara tentu juga akan sangat berkurang,” ujarnya.
Diperkirakan ada sekitar 282 perusahaan yang menggunakan metode ini materi berlemak Dan Limbah Pabrik Kelapa Sawit (POME) atau limbah cair dari industri kelapa sawit. Sebanyak 257 diantaranya menggunakan mode POME. Jika dihitung dari laporan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), total nilainya mencapai Rp45,9 triliun.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, perusahaan-perusahaan tersebut akan diawasi secara ketat. Menurut dia, praktik tersebut menghambat program hilirisasi industri sawit dalam negeri. “Karena hilangnya potensi kita untuk bisa memperoleh nilai tambah dan tentunya mengganggu terjaminnya pasokan bahan baku industri pengolahan dalam negeri,” ujarnya.
Kementerian Perindustrian telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian nomor 32 Tahun 2024 sebagai acuan klasifikasi komoditas turunan kelapa sawit, CPO dan produk olahannya. Aturan ini menjadi pedoman penyusunan kebijakan fiskal dan pengawasan ekspor komoditas olahan kelapa sawit oleh kementerian dan lembaga.
Pilihan Editor: Mengapa Penjualan Pakaian Bekas Impor Tetap Meningkat