Film bertema kepahlawanan berjudul Pahlawan Diponegoro merupakan salah satu karya sinema berbasis kecerdasan buatan (AI) pertama di Indonesia yang diikutsertakan dalam kompetisi Dubai International Film Festival 2026.
Film berdurasi 35 menit ini diproduksi dalam satu bulan dengan biaya sekitar Rp 40 juta.
Produser film King Bagus menjelaskan, seluruh proses produksi dilakukan dengan menggunakan teknologi AI, mulai dari penulisan naskah, visualisasi karakter, hingga sinematografi.
“Kita pakai Veo 3 AI sekitar 70 persen, selebihnya pakai Flow AI dan beberapa tools dari Google. Semuanya cepat, hanya dalam satu bulan, dengan biaya kurang dari Rp 40 juta,” ujarnya kepada Jogja's View, Jumat (7/11).

King mengatakan, secara konvensional, film kolosal bertema perang seperti Pahlawan Diponegoro biasanya memakan waktu hingga tiga tahun dengan anggaran hingga Rp30 miliar.
“AI membuat proses ini jauh lebih efisien. Hasilnya tetap maksimal meski modalnya kecil,” ujarnya.
Film Pahlawan Diponegoro berkisah tentang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Menurut King, teknologi AI memungkinkan timnya memvisualisasikan kembali sejarah perjuangan dengan gaya yang lebih segar dan relevan dengan generasi muda.
“Kami ingin menunjukkan bahwa Diponegoro bukan sekedar pahlawan lokal, tapi simbol kebangkitan nusantara. Dengan visual yang modern, generasi muda bisa belajar sejarah tanpa merasa bosan,” jelasnya.
Sebelum tayang, tim produksi berkoordinasi dengan Paguyuban Ternak Pangeran Diponegoro (Patra Padi) untuk memastikan keaslian cerita. Ketua Umum Patra Padi Rahadi Saptata Abra mengatakan, pihaknya memberikan pedoman sumber sejarah dan catatan primer agar film tetap akurat.
“Kami arahkan sumbernya berasal dari data primer, seperti catatan Babad Diponegoro, Babad Ngayogyakarta, dan arsip Belanda,” ujarnya.

Ia menambahkan, pihaknya juga melakukan koreksi pada sejumlah detail, termasuk pengucapan istilah dan hubungan antar karakter.
Misalnya saja cara menyapa Diponegoro dan Sentot harus tepat. Sentot itu kakak ipar, bukan kakak, ujarnya.
Rahadi menilai film ini memiliki nilai edukasi bagi generasi muda.
“Anak-anak sekarang lebih suka belajar melalui gambar dibandingkan membaca. Film seperti ini bisa menjadi cara baru mengenalkan sejarah tanpa menghilangkan nilai-nilai moral,” ujarnya.
Film Pahlawan Diponegoro tayang perdana pada 14 Agustus 2025 dan kini sedang dipersiapkan untuk dikirim ke Dubai. King berharap karya ini dapat menjadi inspirasi bagi para sineas muda Indonesia untuk berani bereksperimen dengan teknologi AI.
“Kami terbuka untuk menayangkan film ini di sekolah-sekolah atau museum. Tujuannya sederhana, menggugah rasa penasaran generasi muda terhadap sejarah bangsanya,” ujarnya.